#Jum’at berkah – Universal Basic Income : di Indonesia Mungkinkah?

Tema        : Universal Basic Income : di Indonesia Mungkinkah?

Pemantik: Iswan Heri

Tempat   : Grup Internal 

Tanggal   : 11 September 2020

Di masa pandemi (segera ancaman resesi) dan kemajuan teknologi terutama berkembangnya AI (Artificial Intelligence) yang berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran, banyak cendikiawan terutama di bidang ekonomi mulai mewacanakan adanya Universal Basic Income. Secara sederhana UBI adalah pendapatan yang diperoleh rakyat dari pemerintah tanpa perlu kerja. Akankah kebijakan ini nantinya dapat diterapkan secara global dan apakah di Indonesia yang negara kelas menengah bisa menerapkannya?

Iswan : Sebagai pengingat, ada sedikit catatan kecil. Sumber materi ada di situs indobig.net. Kawan kawan yang tertarik soal UBI, bisa baca di web tersebut. UBI adalah pembayaran uang tunai dari negara kepada setiap warga negara tanpa kecuali secara langsung yang setara dengan kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) untuk hidup layak dan dibayarkan secara periodik dan tanpa syarat apapun.

Indonesian Basic Income Guarantee Network/IndoBIG Network (IndoBIG Net) hadir untuk mendorong tercapainya cita-cita penerapan UBI tersebut di Indonesia. Aku bergabung IndoBIG tahun lalu dan ikut Basic Income Bootcamp di Universitas Indonesia bulan Februari kemarin. Gagasan dan pemikiran tentang Basic Income Guarantee (BIG) memang menemukan momentumnya di tengah perkembangan teknologi saat ini dan ancaman jobless future akibat automatisasi di masa mendatang. Namun demikian, gagasan ini sudah ada sejak abad 15 dan sempat beberapa kali menemukan momentum dan muncul dalam sejarah dunia namun kemudian tenggelam akibat kondisi ekonomi dan politik pada saat itu.

Berikut ini beberapa pemikir, penggagas, dan pendukung gagasan “free money for everyone” dengan latar belakang dan argumentasi masing-masing sesuai dengan zaman dan tantangannya pada saat itu :

  • Sir Thomas More (7 Februari 1478 – 6 Juli 1535). Ia adalah seorang pengacara, pengarang, filsuf, dan statesman Inggris yang bertugas sebagai penasihat Henry VIII. Dalam novelnya yang ditulis dalam bahasa latin berjudul Utopia (1516), Ia menuliskan gagasan tentang pendapatan dasar dan konsep berbagi kekayaan atau keuntungan yang dihasilkan dari pengelolaan lahan publik yang menjadi milik pribadi. Novel ini mengangkat sebuah mimpi masyarakat eropa yang serba ideal atau yang kemudian dikenal sebagai masyarakat utopia. Gagasan utopia ini muncul sebagai antithesis atas kekacauan, pergolakan sosial, konflik agama dan krisis ekonomi yang luar biasa pada masa itu.
  • Thomas Jefferson (13 April 1743-4 Juli 1826). Presiden Amerika Serikat ke 3 ini ternyata juga memiliki gagasan yang identik dengan “pemberian cuma-cuma” kepada warga negara. Tepatnya pada saat ia bertugas sebagai anggota legislatif di negara bagian Virginia (1776-1779). Pada saat itu ia mengusulkan untuk memberikan lahan seluas 50 hektar kepada individu yang tidak memiliki properti untuk menjamin kelangsungan hidup mereka dan hak mereka sebagai warga negara.
  • Thomas Paine (1737 – 1809). Ia adalah seorang filsuf keturuan Inggris yang lahir di Amerika dan menjadi salah satu tokoh di era revolusi. Dalam pamflet karangannya berjudul “Agrarian Justice” (1797), Ia memandang bahwa tanah adalah “warisan bersama umat manusia”. Oleh karena itu, setiap tuan tanah atau pemilik tanah berkewajiban untuk membayar “uang sewa tanah” ke dalam “dana nasional.” Pajak tanah ini kemudian akan didistribusikan kembali kepada seluruh warga negara. Setiap warga negara Amerika akan menerima pembayaran tunai setiap bulan dari pajak tanah tersebut pada saat mereka berusia 21 tahun dan pembayaran tahunan ketika mereka berumur 50 tahun. Dalam gagasannya, pembayaran itu dianggap sebagai “hak” yang bisa dinikmati oleh warga negara.

Istilah pendapatan dasar (Basic Income) diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980an, dan Basic Income Earth Network (BIEN) didirikan pada tahun 1986. (Awalnya, “E” di BIEN adalah “Eropa.” Kemudian anggota mengubahnya menjadi “Earth” pada tahun 2002 di kongres Jenewa.) Jaringan Basic Income di A.S (US BIG) menyusul didirikan pada tahun 1999 sebagai asosiasi informal akademisi dan aktivis. Sejak 2002, USBIG rutin mengadakan pertemuan tahunan, dan baru-baru ini mereka bekerja sama dengan Basic Income Canada yang akan menggelar pertemuan awal tahun 2018 di Ontario.

Indonesia masih belum memiliki perwakilan di BIEN. Sampai akhirnya pada 27 Oktober 2017, Indonesian Basic Income Guarantee Network didirikan sebagai jejaring informal periset dan professional yang berminat mengkaji BIG dan mencoba penerapannya di Indonesia. Indobig Network telah membentuk tim kerja dan mendaftarkan diri untuk berafiliasi dengan BIEN serta berkomitmen untuk terus mengedukasi publik Indonesia terkait perkembangan BIG di dunia. UBI mempunyai jargon yang menarik “UBI is not left or right, it’s forward”

Purma : Kak Is, bisa dijelaskan secara ringkas bagaimana skema yang digagas IndoBIG untuk menerapkan UBI di Indonesia?

Iswan : Skema ini yang sedang disusun bersama antara IndoBIG dan jaringan untuk diaplikasikan di Indonesia. Tapi kalau melihat penerapan di luar negeri, dibutuhkan peran aktif pemerintah untuk menjalankan UBI. Mengingat ide dasar UBI itu untuk seluruh warga negara dan instrumen yang mampu menjangkau itu pemerintah.

Purma : Skema kasarnya kak, dari mana diambil sumber dananya berapa basic income yang diperoleh rakyat? Apa sudah disusun oleh IndoBIG?

Iswan : Sumber dana idealnya dari APBN. Karena itu uang rakyat. Walaupun sebenarnya sumber bisa dari mana saja

Izza :  Dari APBN? Serapan pajak kita saja segitu Kak. Organisasi kakak ada bayangan kapan ini mungkin tercapai?

Iswan : Kalau bicara kebijakan, itu sangat tergantung dari elit penguasanya Kak. Mereka punya visi sosial ekonomi yang tinggi atau enggak. Kalau aku sejak mengenal UBI, ini adalah program jangka panjang. Kalau dalam 10 tahun kedepan gagasan UBI bisa di akomodir itu sudah sangat luar biasa. Lompatan besar untuk demokrasi ekonomi di Indonesia. Nah, untuk mencapai konsep UBI yang ideal, perlu eksperimen sosial. Salah satunya ide dari teman teman di UI tentang pemberian UBI ke warga DKI usia 20-40 thn. 

Apakah sudah dibicarakan ke pemerintah? Sudah.

Apakah disetujui? Entah. Tergantung bagaimana komunikasi politik nantinya. 

Sebagai contoh ada eksperimen di Jerman. Setelah Finlandia, kini Jerman menjadi negara berikutnya yang meluncurkan eksperimen jaminan penghasilan dasar tanpa syarat selama tiga (3) tahun. Tujuannya adalah untuk mendapatkan bukti-bukti empiris dan menetapkan standar baru penerapan Basic Income, khususnya di Jerman. Eksperimen ini digawangi oleh Mein Grundeinkommen association, Max Planck Institute for Research on Collective Goods, dan University of Cologne. Pendanaan untuk studi ini bukan berasal dari pajak atau dana pemerintah, tetapi dari sumbangan sekitar 140.000 donatur atau donor.

Kalau dari kampus, NGO dan donatur seperti ini pasti punya keterbatasan. Soal jangkauan penerima misalnya. Beberapa skema UBI dari beberapa organisasi:

– BI Lab UI: Empat(4) juta untuk warga DKI usia 20-40 (usia produktif penopang ekonomi keluarga)

– Prakarsa: 500 ribu untuk semua warga negara.

– IndoBIG: fleksibel sesuai kemampuan keuangan (diukur dari kalkulator UBI). Jakarta mampu 4 juta karena pendapatannya besar. 

Purma : Siapa yang dapat Basic Income?

Semua warga negara. Teorinya seperti itu. Hanya saja kita harus melihat kemampuan negara juga untuk menopang UBI. Karena itu IndoBIG di situsnya meluncurkan kalkulator UBI. Bisa diaplikasikan di semua daerah di Indonesia dengan nominal dan penerima yang fleksibel (anak, dewasa, orang tua). Dari kalkulator tersebut bisa dilihat kemampuan APBD masing masing daerah. Karena asumsinya UBI daerah dari APBD

Andreas Nova : Apakah ubi akan menyebabkan inflasi?

Iswan : Ini juga yang harus diperhatikan saat membuat kebijakan soal UBI. Tapi ide dasar UBI ini adalah “rising the floor”. Sehingga jurang sosial masyarakat tidak semakin ekstrim.

Purma : Sepanjang ikut IndoBIG menurut pengamatan kak Iswan UBi ini realistis atau utopis?

Iswan : Semua ide perubahan itu menurutku utopis pada awalnya. Misalnya kemunculan feminisme, ide kesetaraan bagi kulit berwarna di AS, dsb. Demokrasi pun menurutku utopis. Tapi kalau dari sisi ide, UBI ini menurutku menarik karena langsung bicara soal pembagian kesejahteraan ke setiap warga negara, tanpa perantara. Pembagian kesejahteraan langsung ini juga bisa menghindari korupsi. UBI ini lebih realistis lagi di masa pandemi ini. Untuk mengatasi resesi, jumlah perputaran uang di masyarakat harus jalan. Sementara itu PHK tinggi. Maka solusinya harus ada subsidi berupa uang tunai itu tadi. Aku dulu tertarik membaca UBI karena bosan dengan wacana gerakan kiri maupun kanan yang sepertinya jalan di tempat (malah sepertinya nggak ada ide baru sama sekali). Makanya begitu tahu jargon “UBI is not left or right, it’s forward”, tambah sreg lagi dengan UBI ini.

Purma : Soal UBI di pandemi ini kan banyak wacana harus langsung diterapkan. Apakah sudah ada wacana atau diperbincangkan sama pemrintah dan bagaimana negara punya anggaran untuk memenuhi UBI di tengah pandemi yang menghantam semua negara dan tentunya negara susah untuk dapat dana eksternal?

Iswan : Kalau IndoBIG dan teman-teman jaringan sudah mencoba mengajak diskusi ke semua pihak soal UBI ini termasuk pemerintah. Tapi tentu tidak mudah kalau mendorong menjadi kebijakan. Kalau ada kebijakan soal UBI, maka akan ada landasan hukum dan alokasi dari APBN. Di setiap negara pun elit politiknya masih berdebat soal UBI. Bukan hanya di Indonesia. Nah, sebagai upaya mendorong penerapan UBI di Indonesia, IndoBIG bikin petisi di web. Karena semakin banyak orang yang mendorong penerapan UBI, harapannya akan segera keluar kebijakan yang mengatur UBI. Yang bisa dilakukan masyarakat umum minimal mendorong petisi semacam ini. 

Purma : UBI itu kan beda dengan BLT, UBI kan tanpa syarat yang berbelit, kalau kamu tadi bilang usia 20-40 dapat Basic Income. Bagaimana dengan yang kaya dan punya banyak investasi apa juga tetap dapat UBI?

Iswan : 20-40 tahun tadi skemanya teman teman BI Lab UI. Bukan skema IndoBIG. Sudah beda lembaga. Masing masing lembaga punya kalkulasi sendiri soal penerapan UBI. Itupun hanya sebatas warga DKI, bukan seluruh Indonesia.

Argumen BI Lab:

Usia 20-40 tahun ini usia yang paling produktif. Biasanya menjadi tulang punggung keluarga sekaligus kelompok yang paling terdampak pandemi.

4 juta itu kalau dihitung dari potensi penerimaan DKI, maka pemerintahnya masih sanggup untuk membiayai. Kalau Klaten atau daerah lain pakai skema itu bisa jadi tidak cocok. Jakarta dipilih karena dianggap sebagai daerah yang terdampak pandemi cukup kuat. Kalau tidak salah skema seperti ini disebutnya “partial basic income”. Aku dulu juga punya pertanyaan seperti itu. Lalu dijawab temanku yang founder IndoBIG :

Misalnya UBI ini 1juta setiap kepala, tentu beda maknanya bagi orang miskin dan orang kaya. 1 juta bisa untuk hidup beberapa hari bagi yang miskin, tapi bagi yang kaya mungkin hanya recehan.

Lantas bagaimana timbal balik si kaya dalam ekonomi?

Nah, si kaya ini mengembalikan dalam bentuk pajak. Pajak ini nanti masuk ke APBN dan diputar lagi untuk UBI selanjutnya. Makanya penerimaan sektor pajak ini sangat penting untuk menopang UBI atau program sosial lainnya. Teori sederhananya seperti itu. Tapi tentu prakteknya ada tantangan dsb.

Izza : Buku Utopia ini menarik, terutama yang terjemahan dari Leuven dari orang yang juga menarik kisah hidupnya. Sudut pandang lain bisa dilihat dari novel Wolf Hall (sudut pandang Thomas Cromwell ‘musuh’ More) yang menang Booker Prize. Apa yang malas baca ada serial BBC-nya yang bagus. 1 season 6 episode saja. Buku ini yang melahirkan genre ‘utopian/dystopian’ (masyarakat sempurna vs neraka di dunia). Banyak membahas tentang ‘harta komunal’ memang, tapi aku tidak ingat ada ide ‘universal basic income’ apa semacamnya. Ide komunal beliau juga dari hidup beliau di monasteries dan cukup ‘berkesan’ sampai dapat penghargaan dari Uni Soviet.

Iswan : Kalau istilah UBI dipakainya baru saja. Ada juga yang pakai istilah lain. Contoh di Alaska pakai “Permanent Devident Fund”. Tapi secara prinsip sama dengan UBI.

Free money for everyone

Izaa : Di Utopia ada konsep kepemilikan bersama, tapi saya tidak ingat ada ‘uang untuk semua’. Uang kan beda dengan hak-hak warga negara yang memang ‘seharusnya’ difasilitasi pemerintah mulai dari pembangunan jalan raya sampai subsidi bbm. Uang berarti memberikan daya beli. Mendorong konsumsi. Kenapa ide ini lebih baik daripada memberikan yang dianggap ‘dasar’ dalam bentuk produknya langsung ?

Iswan : Uang dianggap sebagai pilihan yang rasional. Kalau orang punya uang, ia bisa menggunakan untuk kebutuhan sandang, pangan, papan, edukasi, pendidikan, dsb. Apapun yang ia pilih, bisa dilakukan. Karena itu uang pribadi. Kalau misalnya bantuan diberikan bentuk beras misalnya, itu lebih ribet. Memberi beras ke petani sama ke buruh tentu beda fungsinya. Kalau uang, justru lebih cair penggunaannya. UBI ini kan konsepnya membagi kesejahteraan ke setiap warga. Sama rasa, sama rata. Semua warga dapat. Persamaan dengan Utopia seperti itu.

Izza: Kenapa uang? Uang tidak memberikan ‘persamaan’ karena tipe konsumsi manusia berbeda. Tidak ada ‘kepastian’ akan dipakai untuk kebutuhan dasar dan apa bedanya dengan sosialisme? 

Iswan : Uang lebih fleksibel Kak. Bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan apapun. Petani yang punya stok beras di rumah, rasanya lebih tepat dapat uang daripada beras. Makanya beda rasa soal beras itu untuk petani, buruh, dan presiden. Kalau uang, rasanya ketiga profesi tadi sama-sama membutuhkan.

Izaa : Saya masih bingung kenapa ide UBI dianggap solusi untuk meratakan ketimpangan ekonomi. Mereka yang sudah di depan (orang kaya) hanya akan lebih di depan lagi kan kalau diberi jatah sama dengan yang miskin? Kenapa tidak dengan program barang nyata seperti perumahan gratis langsung untuk rakyat. Jadi tidak ada gelandangan. Sandang? Program sederhana seperti seragam sekolah gratis itu sudah meratakan ketimpangan antar siswa.

Iswan : UBI bukan solusi satu-satunya. Ini hanya salah satu alat untuk memeratakan kesejahteraan. “Rising the floor”. Misalnya ada program pendidikan, kesehatan, perumahan gratis, itu lebih baik lagi. Jadi, uang dari UBI bisa dipakai untuk kebutuhan hidup yang lain.

Izaa : Dan apa bedanya dengan BLT? Karena yang kaya juga dapat? Yang kaya akan tetap melakukan konsumsi yang sama kan mau ada tambahan uang apa tidak. Mereka juga akan bayar pajak (atau menghindarinya kayak belut) ada atau tidak ada uang tambahan. Kecuali Paman Gober mungkin. Terakhir baca-baca jurnal Iran sama Mongolia sempat punya UBI, tapi ya berhenti.

Purma : Beda dengan BLT, BLT itu untuk orang tertentu dan syaratnya berbelit. Kalau ubi itu syaratnya tidak rumit misal seperti contoh tadi 20-40 langsung dapat uang.

Iswan : BLT untuk orang miskin. UBI untuk semua warga. Karena semua warga negara berhak mendapat basic income.

Izaa : Jadi, UBI bukan solusi ya. Dia opsi yang menguntungkan ketika keadaan memang menguntungkan atau garis start kurang lebih sama ?

Iswan: Tidak ada satu gagasan untuk menjawab semua kebutuhan manusia, kak. Tidak UBI, tidak demokrasi, tidak sosialisme, tidak kapitalisme. Soal manfaat UBI ini bisa dilihat dalam jangka panjang. Makanya, di Jerman eksperimennya dilaksanakan selama 3 tahun untuk melihat dampak sosialnya. Soal manfaat UBI juga bisa dilihat di negara negara yang sudah menjalankannya.

Izaa : Bahkan negara nordic yang punya kesetaraan paling tinggi tidak punya UBI

Tidak semua orang sepakat dengan UBI Kak. Lagipula UBI bukan satu-satunya solusi untuk masalah kesejahteraan. Ini hanya salah satu kendaraan saja. Mirip kalau mau ke Jogja, ada banyak pilihan kendaraan yang bisa dipilih. Kebijakan pemerintah juga seperti itu.

Penerapan UBI/PFD di Alaska ini bisa dijadikan inspirasi 

Sekian. Salam Literasi!

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑